Beranda | Artikel
Mencintai Saudara Seiman Termasuk Kesempurnaan Iman
Selasa, 9 Maret 2021

MENCINTAI SAUDARA SEIMAN TERMASUK KESEMPURNAAN IMAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ خَادِمِ رَسُوْل الله عَنْ النَّبِي قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”.

Takhrij
Hadits ini dikeluarkan.

  1. Iman Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Min Al Iman An Yuhibba Liakhihi Ma Yuhibbu Linafsihi, no. 13.
  2. Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Al Dalil ‘Ala Ana Min Khishal Al Iman An Yuhibba Liakhihi Al Muslim Ma Yuhibbu Linafsihi Min Al Khair, no. 45.

Syarah Hadits
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ , artinya tidak sempurna iman salah seorang dari kita, karena penafian (peniadaan) disini untuk menafikan (meniadakan) kesempurnaan, bukan menafikan asal iman.

Jika ada yang bertanya : Apa dalilmu tentang ta’wil (penafsiran) ini, yang memalingkan ucapan dari makna zhahirnya?

Jawabnya : Dalil kami yang menunjukkan hal ini, yaitu amalan tersebut tidak mengakibatkan seorang manusia keluar dari iman dan tidak dianggap telah murtad. Itu hanya nasihat, sehingga penafiannya disini, maksudnya hanya menafikan kesempurnaan iman.

Jika ada yang menyanggah : Bukankah kalian mengingkari ta’wilnnya ahli ta’wil?

Jawabnya : Kami tidak mengingkari ta’wilnya ahli ta’wil, hanya saja kami mengingkari ta’wil mereka yang tidak didasari dalil. Karena, jika ta’wil tidak didasari dalil, maka dinamakan tahrif (penyimpangan) dan bukan ta’wil. Adapun ta’wil yang berdasarkan dalil, maka ia dianggap sebagai bagian dari tafsir kalam (perkataan). Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendo’akan Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

اللهمَّ فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَ عَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

Ya Allah faqihkanlah ia dalam agama dan ajarilah ia ta’wil.[1]

Jika ada yang bertanya : Dalam firman Allah Azza wa Jalla:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْءَانَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syethan yang terkutuk. [Al Nahl/16 : 98].

Sesungguhnya maksud dari firman Allah tersebut, jika kamu ingin membaca Al Qur’an, apakah ini termasuk ta’wil yang tercela atau ta’wil yang benar?

Jawabnya : Ini ta’wil yang benar, karena ditunjukkan oleh dalil. Yaitu perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berta’awudz ketika akan membaca dan tidak di akhir bacaan.

Jika ada yang bertanya : Dalam firman Allah Azza wa Jalla :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu. [Al Maidah/5 : 6]

Sesungguhnya maksud dari firman Allah tersebut, jika kamu ingin melaksanakannya, apakah ini termasuk ta’wil yang tercela atau ta’wil yang benar?

Jawabnya: Ini ta’wil yang benar.

Oleh karena itu, kami tidak mengingkari semua ta’wil, tetapi hanya mengingkari ta’wil yang tidak didasari dalil, dan kita menamakannya tahrif (penyimpangan).

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ . Iman, menurut definisi bahasa Arab, maknanya ikrar yang mengharuskan untuk menerima dan tunduk. Inilah definisi yang sesuai dengan syari’at. Ada yang mendefinisikan dengan tashdiq. (Demikian) ini masih perlu penelitian, karena perkataan آمَنْتُ بِكَذَا dan صَدَّقْتُ فُلاَنًا dan tidak dikatakan  آمَنْتُ فُلاَنًا. Ada juga yang menyatakan, iman menurut bahasa Arab adalah ikrar. Yang berpendapat demikian berdalil dengan perkataan  آمَنَ به وَ أَقَرَّ بِهِ  dan tidak dikatakan  آمَنَهَ bermakna  صَدَّقَهُ. Ketika dua kata kerja ini tidak dapat sama dalam transitif dan intransitifnya, maka diketahui bahwa keduanya tidak semakna.

Sehingga iman, menurut bahasa yang sebenarnya adalah ikrar hati terhadap apa sampai ke hatinya, dan bukan tashdiq. Terkadang, iman juga bermakna tashdiq dengan indikasi tertentu, seperti firman Allah Azza wa Jalla.

فَئَامَنَ لَهُ لُوطٌ

Maka Luth membenarkan (kenabian) nya… (Al Ankabut/29:26). Ini menurut satu pendapat ulama, sementara ada kemungkinan dikatakan (pendapat yang lain) : (فَئَامَنَ لَهُ لُوطٌ ), bermakna tunduk patuh kepadanya -yaitu Ibrahim- dan membenarkan dakwahnya.

Adapun menurut syari’at, makna iman sama dengan definisi menurut bahasa. Sehingga, barangsiapa yang mengaku beriman tanpa menerima dan tunduk, maka belum (dianggap) mu’min. Berdasarkan hal ini, maka orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini bukan mu’min, karena mereka tidak menerima dan tidak tunduk kepada agama Islam.

Dulu, Abu Thalib juga mengakui kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan hal itu dalam pernyataannya : Sungguh mereka mengetahui bahwa anak kita ini tidak berbuat dusta. Dalam diri kita, dan tidak juga mengucapkan perkataan batil.

Dan menyatakan juga, Sungguh aku mengetahui agama Muhammad, termasuk agama manusia yang terbaik. Seandainya bukan karena celaan dan khawatir dimaki. Sungguh engkau melihatku menerima dengan baik agama itu.

Inilah pengakuan yang jelas dan pembelaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun demikian, ia bukanlah seorang mu’min, karena ia tidak menerima dan tidak tunduk. Dia belum menerima dan tunduk kepada dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mati dalam keadaan kafir.

Iman tempatnya ada di hati, lisan dan anggota tubuh. Sehingga iman itu dengan hati, lisan dan anggota tubuh. Maksudnya, perkataan lisan dinamakan iman, dan amalan anggota tubuh dinamakan iman. Ini semua dengan dalil firman Allah Ta’ala.

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu… [Al Baqarah/2 : 143].

Para ahli tafsir menyatakan, imanmu (dalam firman Allah diatas maksudnya) adalah shalatmu menghadap Baitul Maqdis. Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
,
الإِمَانُ بِضْعُ وَ سَبْعُوْنَ شُعْبَةً فَأَعْلاَهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَ أَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَ الحَيَاءُ مِنَ الإِيْمَانِ

Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang, yang tertinggi adalah kalimat la ilaha illallah, dan yang terendah adalah membuang pengganggu dari jalanan. Dan malu, termasuk cabang dari iman.[2]

Tertinggi adalah pernyataan la ilaha illallah, dan ini merupakan pernyataan lisan. Dan terendah, ialah membuang pengganggu dari jalanan, merupakan amalan anggota tubuh, serta rasa malu termasuk amalan hati. Adapun pendapat yang menyatakan iman tempatnya hanya di hati saja dan orang yang membenarkan (Islam) berarti ia telah mu’min; maka pendapat ini adalah pendapat yang salah dan tidak benar.

حَتَّى يُحِبَّ . Kata “ حَتَّى “ bermakna sampai, berarti maknanya sampai mencintai untuk saudaranya. Kata cinta tidak perlu dijelaskan. Penjelasan makna cinta hanya akan menimbulkan kesulitan dalam memahaminya. Cinta adalah cinta, tidak ada kata yang lebih jelas menafsirkannya dari itu.

لأَخِيْهِ , maksudnya adalah orang mu’min.
مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه , maknanya, sesuatu yang ia cintai untuk dirinya berupa kebaikan, keselamatan dan pembelaan kehormatan serta yang lainnya. Makna ini, juga terdapat dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ مَايُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ

Barangsiapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan surga, maka hendaklah meninggal dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan memberikan orang lain apa ia senang mendapatkannya.[3]

Yang menjadi syahid (dalil) dalam hadits disini adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ مَا يُحِبُّ أَنْ يُؤْتى إِلَيْهِ

Memberikan orang lain apa (yang) ia senang mendapatkannya.

Faidah Hadits
Dari hadits ini, dapat diambil beberapa faidah, diantaranya.
Pertama : Boleh menafikan sesuatu karena tidak sempurna, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”.

Dan yang sejenis (hadits) ini adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَيُؤْمِنُ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Tidak sempurna iman seseorang, yang tetangganya tidak aman dari kejahilannya (gangguannya).[4]

Diantara contoh lain bolehnya menafikan sesuatu karena hilangnya kesempurnaan sesuatu itu, adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ

Tidak ada shalat ketika makanan telah terhidang

Maknanya, tidak ada shalat yang sempurna, karena hati orang yang shalat akan sibuk (terganggu) dengan makanan yang telah dihidangkan, dan banyak contoh lainnya.

Kedua : Kewajiban seseorang untuk mencintai  saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya. Karena penafian (kesempurnaan) iman dari orang yang tidak mencintai saudaranya sesuatu yang ia cinta untuk dirinya (dalam hadits) menunjukkan bahwa hal tersebut wajib. Sebab tidak dinafikan iman, kecuali karena hilangnya kewajiban iman, atau adanya hal yang bertentangan dengannya.

Ketiga : Peringatan dari sikap hasad (iri, dengki), karena orang yang hasad tidak mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya; bahkan ia mengharapkan agar nikmat Allah hilang dari saudaranya se-islam. Para ulama berselisih dalam tafsir hasad. Sebagian mendefinisikan hasad, adalah mengharap hilangnya nikmat dari orang lain. Sebagian ulama yang lain menyatakan, hasad adalah rasa tidak suka terhadap nikmat Allah atas orang lain. Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,“Jika seorang hamba membenci nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, berarti ia telah hasad kepadanya, walaupun ia tidak mengharapkan hilangnya nikmat tersebut.”

Keempat : Hendaklah menyampaikan perkataan yang berisi ajakan beramal, karena itu termasuk kefasihan. Yang menjadi dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : لأَخِيْه karena hal ini menunjukkan lemah-lembut, kasih dan sayang.

Contoh serupa terdapat pada firman Allah tentang ayat qishash:

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ

Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. [Al Baqarah/2 : 178].

Padahal ia yang membunuh untuk menampakan kelembutan dan kasih sayang kepada al mukhothob (yang ditujukan pembicaraan, pent).

Jika ada yang menyatakan : Masalah ini terkadang susah (sulit diamalkan-red) maksudnya bahwa mencintai untuk saudara sesuatu yang kamu cintai untuk dirimu, dengan pengertian, menginginkan saudaramu agar menjadi alim, menjadi kaya, menjadi orang yang banyak harta dan anaknya dan menjadi seorang yang istiqomah, ini semua adalah perkara yang terkadang susah.

Jawabnya : Ini tidak susah, jika kamu telah membiasakan jiwamu berbuat demikian. Latihlah jiwamu untuk berbuat demikian, niscaya akan mudah. Namun jika kamu mentaati jiwamu dalam hawa nafsunya, maka benarlah hal itu akan menjadi berat.

Jika seorang murid bertanya : Apakah termasuk dalam hal ini, saya mencontekkan kepada teman saya dalam ujian, karena saya ingin lulus ujian sehingga saya memberikan contekan kepadanya agar ia lulus ujian juga?

Jawabnya: Tidak ! Karena itu merupakan penipuan. Perbuatan ini, sebenarnya adalah perbuatan jelek kepada saudaramu, bukan perbuatan baik kepadanya. Karena jika kamu telah membiasakan ia berkhianat, maka ia akan menjadi terbiasa melakukannya. Dan karena engkau juga dengan memberikan contekkan berarti engkau telah menipunya, dimana ia akan membawa ijazah, yang sebenarnya ia tidak pantas menyandangnya.

Wallahu al muwaffiq.

(Disusun oleh Kholid Syamhudi, diangkat dari kitab Syarah Al Arba’in An Nawawiyah, Cetakan Pertama, Tahun 1424 H, Dar Ats Tsuraya, Riyadh, KSA, hlm. 160-164)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Wudhu’, Bab Wadh’u Al Ma’ Inda Al Khala’, no. 143.
[2] HR Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Iman, Bab Bayan ‘Adad Syu’abi Al Iman Wa Afdhaluha Wa Adnaha Wa Fadhilah Al Haya Wa Kaunihi Min Al Iman, no. 35.
[3] HR Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al Imarah, Bab Wujub Al Wafa’ Bi Bai’ati Al Khulafai Al Wal Fal Awal, no. 1.844.
[4] HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Adab, Bab Itsmu Man La Ya’man Jarau Bawaiqahu, no. 6-16.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/29663-mencintai-saudara-seiman-termasuk-kesempurnaan-iman-2.html